Saturday, September 18, 2010

Zakat dalam sistem perpajakan Indonesia

Menurut ketentuan Pasal 4 ayat (3) huruf a.1. UU Nomor 36 Tahun 2009 zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak, dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan bagi penerimanya. Dengan demikian, zakat tersebut bagi penerimanya tidak dikenakan Pajak Penghasilan.

Selanjutnya, berdasarkan Pasal 9 ayat (1) huruf g UU Nomor 36 Tahun 2009, zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan atau Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dapat dikurangkan dalam menghitung penghasilan kena pajak. Kesimpulan dari ketentuan tersebut di atas, zakat itu tidak langsung mengurangi pajak dari pembayar zakat, tetapi hanya mengurangi penghasilan kena pajaknya.
Menurut ketentuan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2010, caranya dengan mengurangkan pengeluaran untuk pembayaran zakat terhadap penghasilan bruto.

Yang menarik adalah apabila pengeluaran untuk zakat tidak dibayarkan kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah, pengeluaran untuk pembayaran zakat tersebut tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.

Komentar:
Sebagian besar masyarakat muslim Indonesia dalam membayar zakatnya lebih suka langsung membayar kapada fakir miskin, anak yatim, yayasan pengasuh anak yatim, atau untuk pembangunan mesjid, daripada kepada lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah. Hal ini antara lain disebabkan adanya hubungan emosional antara pemyar zakat dengan penerima zakat (merasa lebih afdol), dan masih adanya ketidak percayaan kepada lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.
Sayangnya pembuat undang-undang, yaitu Pemerintah dan DPR tidak memperhatikan tradisi pembayaran zakat yang ada di masyarakat, sehingga kesannya ada diskriminasi karena hanya pembayar zakat kepada lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah saja yang berhak mengurangkan zakat tersebut terhadap penghasilan brutonya, sedangkan yang lainnya tidak berhak.

Dalam UU Nomor 36 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah tersebut di atas, tidak juga diatur mengenai berapa zakat yang dapat dikurangkan terhadap penghasilan bruto apakah 21/2% sesuai dengan batas kewajiban membayar zakat, ataukah boleh lebih dari 21/2% karena banyak masyarakat yang membayar zakatnya lebih dari 21/2%.
Apa komentar and?

No comments:

Post a Comment