Monday, October 18, 2010

Konflik regulasi dalam pemajakan penghasilan dari jasa konstruksi

Dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008, ketentuan mengenai perlakuan perpajakan atas usaha jasa konstruksi diatur dalam 2 Pasal yaitu:
a)  Dalam Pasal 4 ayat (2) huruf d yang menyatakan sebagai berikut:
”(2)  Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final:
d.    penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau
bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan”. (huruf miring dan huruf tebal dari penulis).

b)   Dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 yang menyatakan sebagai berikut:
”1)  Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan:
c.   sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas:
2.   imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.” (huruf miring dan huruf tebal dari penulis).

Dari kedua ketentuan yang berbeda tersebut, menurut pendapat penulis ketentuan Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 lebih kuat dibandingkan dengan ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf d, dengan alasan sebagai berikut:
1) Keberadaan Pasal 23 Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 lebih belakangan daripada Pasal 4 ayat (2) huruf d. Sesuai dengan adagium yang berlaku, jika terdapat dua atau lebih peraturan perundang-undangan yang mengatur hal yang sama, maka peraturan perundang-undangan yang terbaru yang berlaku.
2) Hal yang diatur dalam 23 Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 lebih rinci, jelas, dan lebih pasti daripada yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) huruf d.

Pasal 4 ayat (2) hanya menyatakan sebagai berikut:
Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final:
d.   penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan”.

Jadi ketentuan Pasal Pasal 4 ayat (2)huruf d baru menyatakan dapat dikenakan, belum mengatur kapan akan dikenakan, bagaimana cara pengenaannya, serta berapa besar tarif pengenaannya, dan apa dasar pengenaannya (dpp).

Sedangkan ketentuan 23 Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2, sudah secara rinci dan jelas mengatur bahwa imbalan atas jasa konstruksi Pajak Penghasilannya dipotong oleh pihak pemberi penghasilan dengan tarif sebesar 2% dari penghasilan bruto. Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 tersebut merupakan pembayaran dimuka dari Pajak Penghasilan Badan atau Pajak Penghasilan Orang Pribadi wajib pajak dalam negeri.

Dengan demikian, penulis berpendapat bahwa seharusnya ketentuan Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 yang diterapkan terhadap pemajakan atas imbalan yang diterima atau diperoleh dari usaha jasa konstruksi, bukan ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf d Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008.

Dalam praktek, tampaknya pihak otoritas perpajakan, tetap ngotot untuk menerapkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dalam pemajakan atas imbalan yang diterima atau diperoleh dari usaha jasa konstruksi.

Menurut pendapat penulis, bagaimanapun terdapatnya dua ketentuan yang mengatur hal yang sama dalam satu undang-undang seperti diuraikan di atas, merupakan suatu kesalahan yang fatal dari pembuat undang-undang dan harus segera diperbaiki. Caranya pemerintah (Presiden) harus mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang yang isinya mengubah salah satu ketentuan tersebut di atas entah Pasal 4 ayat (2) huruf d atau Pasal 23 Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2.

Untuk keadilan bagi para wajib pajak, sebaiknya yang diubah ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf d, khusus yang menyangkut jasa konstruksi.
Pasal perubahan tersebut dapat berbunyi sebagai berikut:
”Merubah ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf d, sehingga menjadi sebagai berikut:
(2) Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final:
d. penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan.”

Dengan perubahan tersebut di atas, perusahaan jasa konstruksi akan dikenakan PPh Penghasilan Umum dan PPh Pasal 23 yang tidak bersifat final, tidak lagi dikenakan PPh Pasal 4 ayat (2) yang bersifat final. Efeknya adalah perusahaan jasa kostruksi yang menderita kerugian (umumnya perusahaan menengah dan kecil yang sering menderita kerugian), tidak akan dikenakan pajak. Memajaki kerugian sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip yang dianut dalam penerapan Pajak Penghasilan.

Sebelum berlakunya UU Nomor 36 ahun 2008, ada Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Jasa Konstruksi. Pihak otoritas pajak tampaknya tetap memberlakukan PP tersebut di atas untuk pemajakan penghasilan dari jasa konstruksi. Menurut pendapat penulis, dengan berlakunya UU Nomor 36 Tahun 2008 dan dengan adanya konflik regulasi sebagaimana di uraikan di atas, validitas penerapan PP Nomor 51 Tahun 2008 atas penghasilan dari jasa konstruksi dipertanyakan.

Monday, September 20, 2010

Biaya Promosi

Salah satu unsur yang dapat dikurangkan terhadap penghasilan bruto dalam menghitung penghasilan kena pajak adalah biaya promosi. Biaya promosi ini termasuk dalam katagori biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara (3M) penghasilan. Namun demikian, wajib pajak tidak dapat seenaknya membebankan biaya promosi, tetapi harus memenuhi aturan yang ditetapkan Menteri Keungan.

Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 02/PMK.03/ 2010, tanggal 8 Januari 2010 yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2009 (berlaku surut).

Secara ringkas aturan yang mengatur biaya promosi adalah sebagai berikut:

Pengertian biaya promosi:
Yang dimaksud dengan biaya promosi adalah bagian dari biaya penjualan yang dikeluarkan oleh wajib pajak dalam rangka memperkenalkan dan/atau menganjurkan pemakaian suatu produk baik langsung maupun tidak langsung

Besarnya Biaya Promosi:
Besarnya biaya promosi yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto merupakan akumulasi dari jumlah :
a. biaya periklanan di media elektronik, media cetak, dan/atau media lainnya;
b. biaya pameran produk;
c. biaya pengenalan produk baru; dan/atau
d. biaya sponsorship yang berkaitan dengan promosi produk.

Tidak termasuk Biaya Promosi:
a. pemberian imbalan berupa uang dan/atau fasilitas, dengan nama dan dalam bentuk apapun, kepada pihak lain yang tidak berkaitan langsung dengan penyelenggaraan kegiatan promosi;
b. baya Promosi untuk mendapatkan, menagih, dan menelihara penghasilan yang bukan merupakan objek pajak dan yang telah dikenai pajak bersifat final.

Biaya promosi dalam bentuk pemberian sampel:
Dalam hal promosi dilakukan dalam bentuk pemberian sampel produk, besarnya biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto adalah sebesar harga pokok sampel produk yang diberikan, sepanjang belum dibebankan dalam perhitungan harga pokok penjualan.

Kewajiban wajib pajak:
1.  wajib pajak wajib membuat daftar nominatif atas pengeluaran Biaya Promosi yang dikeluarkan kepada pihak lain;
2.  daftar nominatif paling sedikit harus memuat data penerima berupa nama, Nomor Pokok wajib pajak, alamat, tanggal, bentuk dan jenis biaya, besarnya biaya, nomor bukti pemotongan dan besarnya Pajak Penghasilan yang dipotong;
3.  daftar nominatif sebagaimana dimaksud di atas dibuat sesuai format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Menteri KeuanganNomor 02/PMK.03/2010 , yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini.
4.  daftar nominatif harus dilaporkan sebagai lampiran saat wajib pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh Badan

Komentar:
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 02/PMK.03/2010 hanya menyebut wajib pajak badan. Bagaimana dengan wajib pajak orang pribadi apakah terikat dengan aturan tersebut di atas?

Aturan mengenai biaya promosi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 02/PMK.03/2010, merupakan aturan yang paling anyar. Menurutku aturannya lebih adil dibandingkan dengan aturan yang lama, karena tidak lagi memisah-misahkan atauran biaya promosi berdasarkan jenis usaha seperti yang diatur dalam aturan yang lama.

Menurutku ada ketentuan yang kurang jelas yaitu: ketentuan mengenai pemberian imbalan berupa uang dan/atau fasilitas, dengan nama dan dalam bentuk apapun, kepada pihak lain yang tidak berkaitan langsung dengan penyelenggaraan kegiatan promosi yang tidak termasuk biaya promosi.
Apa yang dimaksud dengan prase: ”kepada pihak lain yang tidak berkaitan langsung dengan penyelenggaraan kegiatan promosi”. Contoh kasus, biaya diberikan kepada dokter sebagai peserta di bidang kesehatan/farmasi oleh perusahaan farmasi termasuk katagori ini nggak?? Jika iya, maka akan menjadi masalah besar bagi perusahaan-perusahaan farmasi.

Bagaimana komentar anda?


Saturday, September 18, 2010

Pajak Penjualan sebagai War Tax?

Tahukah anda bahwa dalam awal perkembangannya pajak penjualan (PPn) yang kemudian berkembang menjadi pajak pertambahan nilai (PPN), disebut sebagai pajak perang (war tax)? Hal ini terjadi karena pada saat Hitler melancarkan peperangan pada Perang Dunia, dia butuh biaya yang cukup besar untuk membiayai peperangannya. Salah satu caranya adalah dengan memungut pajak. Pajak yang mungkin dipungut adalah pajak atas konsumsi yaitu pajak penjualan, karena walaupun dalam keadaan perang manusia tetap membutuhkan konsumsi. Itulah sebabnya pajak penjualan pada awal perkembangannya disebut pajak perang (war tax).

Idiiiih serem juga ye, ternyata pajak juga bisa dipakai alat untuk membunuh jutaan orang.
Kalau di Indonesia gimana ya???

Zakat dalam sistem perpajakan Indonesia

Menurut ketentuan Pasal 4 ayat (3) huruf a.1. UU Nomor 36 Tahun 2009 zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak, dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan bagi penerimanya. Dengan demikian, zakat tersebut bagi penerimanya tidak dikenakan Pajak Penghasilan.

Selanjutnya, berdasarkan Pasal 9 ayat (1) huruf g UU Nomor 36 Tahun 2009, zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan atau Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dapat dikurangkan dalam menghitung penghasilan kena pajak. Kesimpulan dari ketentuan tersebut di atas, zakat itu tidak langsung mengurangi pajak dari pembayar zakat, tetapi hanya mengurangi penghasilan kena pajaknya.
Menurut ketentuan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2010, caranya dengan mengurangkan pengeluaran untuk pembayaran zakat terhadap penghasilan bruto.

Yang menarik adalah apabila pengeluaran untuk zakat tidak dibayarkan kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah, pengeluaran untuk pembayaran zakat tersebut tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.

Komentar:
Sebagian besar masyarakat muslim Indonesia dalam membayar zakatnya lebih suka langsung membayar kapada fakir miskin, anak yatim, yayasan pengasuh anak yatim, atau untuk pembangunan mesjid, daripada kepada lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah. Hal ini antara lain disebabkan adanya hubungan emosional antara pemyar zakat dengan penerima zakat (merasa lebih afdol), dan masih adanya ketidak percayaan kepada lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.
Sayangnya pembuat undang-undang, yaitu Pemerintah dan DPR tidak memperhatikan tradisi pembayaran zakat yang ada di masyarakat, sehingga kesannya ada diskriminasi karena hanya pembayar zakat kepada lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah saja yang berhak mengurangkan zakat tersebut terhadap penghasilan brutonya, sedangkan yang lainnya tidak berhak.

Dalam UU Nomor 36 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah tersebut di atas, tidak juga diatur mengenai berapa zakat yang dapat dikurangkan terhadap penghasilan bruto apakah 21/2% sesuai dengan batas kewajiban membayar zakat, ataukah boleh lebih dari 21/2% karena banyak masyarakat yang membayar zakatnya lebih dari 21/2%.
Apa komentar and?

Friday, September 17, 2010

Pantas saja Vietnam lebih maju dari kita

Pada waktu penulis berada di Hanoi sebagai anggota delegasi Indonesia dalam perundingan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda antara Indonesia dengan Vietnam, penulis mengalami beberapa kejadian yang meyakinkan penulis mengapa Vietnam bisa lebih maju dari kita.

Kejadian pertama adalah pada saat berlangsungnya perundingan. Salah satu anggota delegasi Vietnam adalah seorang wanita yang sangat muda. Selidik punya selidik yang bersangkutan baru 6 bulan lulus dari Universitas, mengusai berbagai bahasa, selain bahasa Vietnam, ia mengusai bahasa Iggris, Perancis, Jerman, Rusia, dan Mandarin.
Dari kejadian tersebut, kesimpulan yang bisa diambil adalah betapa hebatnya Vietnam dalam membina Sumber Daya Manusianya. Mereka tidak ragu-ragu memasukan tenaga-tenaga yang sangat junior yang potensial dalam perundingan yang begitu pentingnya. Berbeda dengan Indonesia, biasanya yang menjadi anggota delegasi Indonesia dalam perundingan-perundingan dengan negara lain adalah penjabat-pejabat senior yang kadang-kadang jabatan dan pengetahuan serta keahliannya tidak ada relevansinya dengan masalah yang dirundingkan. Jangan harap ada tenaga junior walaupun sangat potensial yang ikut dalam delegasi.
Kejadian yang kedua, yaitu pada saat delegasi Indonesia diantar berkeiling melihat-lihat kota Hanoi. Salah satu tempat yang dikunjungi adalah tempat di mana jenazah Ho Chi Min yang dibalsem disemayamkan dan bisa dilihat oleh pengunjung. Dalam perjalanan keliling tersebut, kami diantar oleh cewek muda yang menjadi anggota delegasi seperti telah diceritakan di muka. Setelah berkeliling ke sana kemari, kita berhenti di salah tempat di mana dijual berbagai minuman ringan. Penulis membeli Coca Cola kaleng untuk anggota delegasi Indonesia dan juga untuk cewek muda pengantar. Pada waktu penulis memberikan Coca Cola kaleng tersebut, ia menolaknya. Penasaran penulis bertanya kenapa ia menolak. Ia menjelaskan bhwa ia tidak pantas menerima pemberian dari tamunya, seharusnya sebagai tuan rumah dia yang memberi. Ia juga menjelaskan bahwa ia telah mendapat gaji dari Pemerintah untuk melaksanakan tugas-tugasnya, sehingga tidak pantas menerima sesuatu di luar gaji yang diterimanya dalam melaksanakan tugas-tugasnya tersebut. Kalau sikap ini dimiliki semua PNS Vietnam, wah hebat banget,kalau di Indonesia ......?

Kejadian ketiga pada saat delegasi Indoensia dijamu makan malam oleh delegasi Vietnam. Dalam jamuan tersebut hadir Ketua Delegasi Vietnem, seorang Jenderal Vietkong. Yang menarik adalah melihat jas yang dipakainya. Jas tersebut selain modelnya sangat jadul, warnanya juga sudah belel. Sangat kontras dengan jas yang dipakai delegasi Indonesia. Tampilannyapun sangat-sangat sederhana, meskipun berpangkat jenderal dari pasukan tentara yang reputasinya bahkan mengalahkan tentara Amerika.
Dari kejadian-kejadian tersebut di atas dan kejadian-kejadian lainnya yang dialami penulis, penulis membatin dalam hati pantas saja kalau Vietnam bisa jauh lebih maju dari Indonesia dan dengan cepat meninggalkan Indonesia yang pernah jadi gurunya.

Friday, August 27, 2010

PPh atas dividen yang diterima Wajib pajak orang pribadi

Menurut Pasal 17 ayat (2c) UU Nomor 36 Tahun 2008, tarif pajak yang dikenakan atas penghasilan berupa dividen yang dibagikan kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah paling tinggi sebesar 10% dan bersifat final.

Selanjutnya, menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2009, pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen yang dibagikan kepada Wajib pajak orang pribadi dalam negeri dilakukan melalui pemotongan oleh pihak yang membayar atau pihak lain yang ditunjuk selaku pembayar dividen.

Komentar:

Dengan adanya ketentuan ini, orang kaya akan makin kaya saja. Umumnya, orang yang memiliki saham kan hanya orang orang-orang kaya. Orang-orang miskin sih yang namanya saham atau dividen juga gak bakalan mudeng
Dulu, tarif pajak tertinggi untuk dividen yang diterima atau diperoleh Wajib pajak orang pribadi dalam negeri adalah 35% dan tarip pemotongan PPh 23 sebesar 15% dari dividen bruto. PPh Pasal 23 yang telah dipotong dapat dikreditkan. Dengan aturan perpajakan yang berlaku sekarang, yang bersangkutan akan menerima penghasilan sebesar 90% dari dividen yang diterima atau diperolehnya. Enak juga ya kalo punya duit buat beli saham, ketimbang berusaha sendiri yang kalau punya untung bersih akan kena tarif pajak progresif yang tarif tertingginya 30%

Bagi pemotong PPh atas dividen tersebut di atas, masih belum jelas sarana adminsitrasi apa yang harus dipergunakan, misalnya untuk Bukti Pemotongan, SSP, dan atau SPT Masa. yang akan digunakan untuk pelaporan. Apakah anda punya saran???


Top News:
Ahirnya teka teki di atas terjawab sudah. Ternyata oleh otoristas DJP, pemotongan Pajak Penghasilan atas Dividen yang diterima oleh Wajib pajak orang pribadi dalam negeri sebesar 10%, dikatagorikan sebagai pajak final yang masuk dalam kelompok pemotongan Pajak Panghasilan (PPh) Pasal 4 ayat (2) dan pemotongannya harus dilaporkan dalam "SPT Masa Pajak Penghasilan Final Pasal 4 Ayat (2)". Dalam SPT Masa tersebut tercantum dalam item yang ke 10.